Nama : Diki Romadoni
Nim : 16201054
Dosen : Ibu Sherly Somba, SE
Mata
Kuliah : Bahasa Indonesia
A.
Pendahuluan
Konflik
Israel-Palestina boleh jadi merupakan konflik yang memakan waktu panjang
setelah Perang Salib yang pernah terjadi antara dunia Timur dan Barat di
sekitar abad keduabelas. Konflik yang telah berlangsung enam puluhan tahun ini
menjadi konflik cukup akut yang menyita perhatian masyarakat dunia. Apa yang
pernah diprediksi Amerika melalui Menteri Luar Negerinya, Condoleezza Rice,
pada Konfrensi Perdamaian Timur Tengah November 2008 lalu, sebagai “pekerjaan
sulit namun bukan berarti tidak dapat ditempuh dengan kerja keras dan
pengorbanan” bagi penyelesaian konflik Israel-Palestina, semakin menunjukkan
bahwa perdamaian Israel-Palestina memang sulit diwujudkan. Pasalnya, akhir 2008
yang diprediksi dunia Internasional (dalam hal ini Amerika) sebagai puncak
penyelesaian konfik Israel-Palestina justru menampakkan kondisi sebaliknya.
Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza yang dilancarkan sebulan terakhir ini
semakin memperkuat keraguan banyak pihak atas keberhasilan konfrensi tersebut.
Tercatat
tidak kurang dari seribu lebih warga Palestina mengalami korban jiwa dan lebih
dari dua ribu korban luka lainnya dalam waktu sepekan serangan udara yang
dilancarkan pasukan Israel ke Jalur Gaza. Tidak hanya sampai di situ, Israel
bahkan mulai melakukan serangan darat dengan dalih ingin melucuti sisa-sisa
roket yang dimiliki pejuang Hamas, sebuah gerakan perlawanan Islam di Palestina
yang menjadi alasan penyerangan Israel ke wilayah tersebut. Sulit dibayangkan,
jika serangan udara Israel dalam waktu satu minggu telah menelan demikian
banyak korban, keadaannya tentu akan semakin parah setelah Israel melancarkan
serangan daratnya, dan kondisi ini terbukti dengan jatuhnya korban jiwa
melibihi angka seribu dan ribuan korban luka lainnya.
Agresi
meliter Israel ke Jalur Gaza beberapa waktu terakhir benar-benar menarik
perhatian banyak pihak, tidak saja dari kalangan masyarakat muslim melainkan
hampir seluruh masyarakat dunia. Keprihatinan dan simpati masyarakat dunia akan
kondisi Palestina yang menjadi korban keganasan agresi meliter Israel
diungkapkan dalam berbagai bentuk solidaritas, mulai dari aksi kecamanan,
kutukan dan penolakan terhadap tindakan Israel hingga pengiriman bantuan
kemanusiaan dalam berbagai bentuk, seperti tenaga medis, makanan serta
obat-obatan. Atas nama kemanusiaan, solidaritas semacam ini wajar dilakukan.
Namun yang cukup menarik dari sekian banyak solidaritas yang ditujukan pada
korban Palestina adalah simpati dan dukungan yang datang dari masyarakat Islam.
Lebih dari sekedar memberikan bantuan kemanusiaan pada masyarakat Palestina,
beberapa institusi dan ormas Islam bahkan siap mengirimkan tenaga relawannya
sebagai “pasukan jihad”.
Fakta
yang cukup sulit untuk dibantah, bahwa konflik Israel-Palestina berhasil
membangun stigma di tengah masyarakat Islam sebagai konflik bernuansa agama.
Pandangan ini setidaknya dibangun berdasarkan asumsi bahwa Palestina diyakini
sebagai salah satu simbol spiritualitas Islam, dan korban yang berjatuhan di
tanah Palestina secara umum adalah masyarakat Islam. Istilah “jihad” sendiri
merupakan terminologi dalam ajaran Islam yang mengandung pengertian perang yang
dilakukan di jalan Allah, sehingga jika jihad dapat ditolerir dalam kasus ini,
maka semakin sulit membangun fondasi keyakinan di tengah masyarakat Islam
tentang adanya “fakta
lain“ di balik
situasi konflik yang sejak lama terjadi antara Israel dan Palestina.
Fakta
lain yang penulis maksud adalah dimensi politik yang juga demikian kental dalam
konflik Israel-Palestina. Fakta ini setidaknya ditunjukkan dengan keberpihakan
Amerika Serikat sebagai negara adidaya pada Israel. Keberpihakan tersebut
semakin terlihat jelas ketika tidak kurang dari puluhan resolusi yang
dikeluarkan PBB untuk konflik Israel-Palestina kerap “dimentahkan“ Amerika dengan vetonya. Ada hal lain
yang lebih menarik, sunyinya sauara negara-negara Arab (khususnya Saudi Arabia
yang dalam banyak hal dianggap sebagai “kampung halaman Islam”, dan berteman
dekat dengan Amerika) semakin memperlihatkan nuansa politik yang cukup kontras
dalam kasus ini.
Konflik Israel-Palestina dengan sendirinya dapat
diposisikan sebagai konflik sosial mengingat kasus ini dapat disoroti dari
beberapa aspek: politik dan teologi. Konflik sosial sendiri – sebagaimana
dikatakan Oberschall mengutip Coser– diartikan sebagai “…a strugle over values
or claims to status, power, and scare resource, in wich the aims of the
conflict groups are not only to gain the desired values, but also to neutralise
injure or eliminate rivals. Pengertian ini menunjukkan bahwa konflik sosial
meliputi spektrum yang lebar dengan melibatkan berbagi konflik yang membingkainya,
seperti: konflik antar kelas (social class conflict), konflik ras (ethnics and
racial conflicts), konflik antar pemeluk agama (religions conflict), konflik
antar komunitas (communal conflict), dan lain sebagainya.
Dalam kasus Israel-Palsestina, aspek politik
bukanlah satu-satunya dimensi yang dapat digunakan untuk menyoroti konflik
kedua negara tersebut, demikian halnya dengan dimensi teologis yang oleh banyak
pihak dianggap tidak ada hubungannya dengan konflik ini. Sebagian pihak
memandang konflik Israel-Palsetina murni sebagai konflik politik, sementara
sebagian yang lain memandang konflik ini sarat dengan nuansa teologis. Nuansa
teologis dalam konflik Israel-Palestina bukan saja ditunjukkan dengan
terbangunnya stigma perang Yahudi-Islam, akan tetapi kekayikan terhadap “tanah
yang dijanjikan” sebagai tradisi teologis Yahudi juga tidak dapat dipisahkan
dalam kasus ini. Oleh karenanya, tidak ada dari kedua aspek di atas (politik
dan teologi) yang dapat dianggap lebih tepat sebagai pemicu konflik Israel-Palestina,
karena sepanjang sejarahnya kedua aspek tersebut turut mewarnai konflik.
Pertanyaan yang mungkin lebih tepat adalah: aspek mana dari keduanya yang lebih
dominan mewarnai konflik? dan atau, aspek mana yang lebih dulu memicu konfli.
Tulisan yang dituangkan pada makalah ini bertujuan untuk menemukan jawaban dari
pertanyaan tersebut.
B. Tiga
Istilah Penting: Israel, Yahudi, dan Zionis
Membentangkan
sejarah kelam hubungan Israel-Palestina yang kerap dikerumuni konflik
berkepanjangan sama rumitnya dengan melacak sejarah Yahudi itu sendiri, namun
upaya ini penting dilakukan untuk melihat sejauh mana konflik tersebut diwarnai
oleh nuansa politik maupun teologis. Bahkan, seperti yang dituliskan Ralph
Schoenman, ketika seseorang berusaha untuk menguji asal usul, sejarah dan
dinamika Zionisme (istilah lain yang biasa digunakan untuk menyebutkan Yahudi),
mereka akan bertemu dengan berbagai macam teror dan ancaman. Apa yang ditulis
Schoenman mungkin cukup sugestif mengingat ia adalah korban tidak langsung yang
membangun sikap anti-pati pada Zionis (Israel). Namun demikian, pelajaran
tersirat yang dapat dipetik dari catatan Schoenman adalah, sebauh gambaran
tentang sulitnya melacak atau mengetahui informasi tentang Yahudi.
Apa yang
ditegaskan Schoenman tentang sulitnya mendapatkan informasi tentang Yahudi,
agaknya benar-benar di alami oleh seorang wartawan Kompas, Trias Kuncahyono,
dalam perjalanan jurnalistiknya ke Jerusalem. Dalam bukunya berjudul:
Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir, Trias bahkan menunjukkan
kesulitan yang ditemukannya di berbagai tempat yang menggambarkan kecurigaan,
kewaspadaan, dan bahkan menjurus pada kegamangan, dan fobia yang begitu tinggi
dari orang-orang Israel. Kondisi semacam ini bukan kejadian langka yang dapat
ditemukan ketika setiap orang ingin mengunjungi tanah Palestina sebagai wilayah
yang dihuni dua bangsa keturunan Ibrahim yang tak pernah akur.
Problem mendasar
yang juga ditemukan ketika membicangkan Yahudi dalam berbagai aspek adalah
inkonsistensi penggunaan istilah untuknya. Pada umumnya, penggunaan terminologi
Zionisme dan Israel seringkali muncul sebagai kata ganti untuk menyebutkan
Yahudi, padahal – menurut hemat penulis– untuk melihat problem Israel-Palestina
secara objektif, penggunaan ketiga istiah ini harus dapat dibedakan. Pembedaan
tersebut setidaknya dapat dirumuskan dengan memaparkan: pertama, Israel
merupakan sebuah negara yang mayoritas masyarakatnya penganut agama Yahudi,
namun bukan berarti agama lain tidak tumbuh (diakui) di sana. John Obert Voll
menyebutkan, komposisi umat Islam di negara Israel mencapai 10% pada akhir
tahun 1960-an dan mereka menerima eksistensi muslim sebagai minoritas dengan
sedikit tanda-tanda aktivisme Islam atau penegasan keyakinan Islam di depan
umum. Perang Arab-Israel pada 1967 mengakibatkan pendudukan Israel atas wilayah
West Bank milik Jordania dan wilayah lain yang secara substansial berpenduduk
muslim, yang kemudian menyebabkan muslim Israel melakukan kontak dengan
komunitas muslim yang lebih luas yang dapat memberikannya perasaan identitas
yang lebih besar.
Kedua, identitas
Yahudi memang sulit untuk dipisahkan dengan bangsa Israel, namun terminologi
ini tetap saja harus dipahami dari dimensi teologis untuk membedakannya dengan
konsep teologi lain dari tiga agama besar keturunan Ibrahim: Yahudi, Nasrani,
dan Islam. Eratnya keterkaitan antara Yahudi dengan Israel sebagai identitas
yang hampir mustahil dipisahkan setidaknya ditunjukkan oleh Law of Return
Israel: “setiap orang yang memiliki kakek moyang Yahudi berhak untuk tinggal di
Israel dan berhak mengklaim sebagai warga negara Israel. Alih-alih, al Qur’ān
sendiri memberikan sinyal tersebut dengan istilah “bani Israel” kepada kaum
nabi musa yang diidentifikasi sebagai Yahudi.
Ketiga, isme
yang melekat pada kata Zionis tentulah menunjukkan suatu faham; ajaran;
cita-cita; sistem; ataupun sikap, sebagai salah satu kelompok yang muncul dari
kalangan Yahudi itu sendiri. Istilah Zionisme boleh jadi terambil dari kata
Sion yang “legitimasinya” dapat ditemukan dalam kitab Suci Yahudi. Karen
Armstrong menyebutkan, Zionisme sebagai gerakan untuk membangun tanah air
Yahudi di Palestina, merupakan respon kaum Yahudi terhadap modernisasi yang
paling imajinatif dan paling luas jangkauannya. Oleh karenanya, Zionisme hanya
dapat dipahami sebagai gerakan untuk membangun negara Israel yang dalam
faktanya menjadi gerakan paling berpengaruh, namun tetap saja Zinonisme tidak
dapat diklaim sebagai seluruh orang Yahudi. Bahkan – seperti yang dituliskan
Karen Armstong, kaum ortodoks Yahudi mengutuk gerakan zionis dengan
istilah-istilah yang paling ekstrim.
Berdasarkan tiga penggunaan terminologi (Israel,
Yahudi, dan Zionisme) sebagaimaa dipaparkan di atas setidaknya telah
menunjukkan perbedaan dan pembedaan secara substansial dari penggunaan ketiga
istilah tersebut. Harus diakui, membedakan ketiga istilah ini merupakan
pekerjaan yang sulit karena berbagai dasar dan argumentasi yang justru
mempersamakan ketiganya. Namun demikian, memebdakan ketiga istilah ini sangat
penting dilakukan untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dan objektif dari
setiap analisis yang dilakukan untuk melihat konflik Israel-Palestina.
C. Mengurai Konflik Israel-Palestina
Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, konflik Israel-Palestina seringkali dipahami
sebagai konflik Yahudi-Islam dan hal ini berhasil mensugesti hampir seluruh
dunia Islam untuk membeci Yahudi dengan segala macam “derivasinya”. Sikap
anti-pati terhadap Yahudi di kalangan mayoritas Islam bahkan telah ditanamkan
demikian mengakar mulai dari lingkungan keluarga hingga institusi pendidikann
Islam. Yahudi kerap digambarkan sebagai makhluk berwatak jelek, berwajah bengis
dan berhati keji, sehingga tidak heran jika kemudian istilah “Yahudi” dijadikan
sebagai bahasa cemooh untuk menyebutkan orang yang “bersifat jelek”.
Segala
kemungkinan bisa saja terjadi ketika kebencian telah dijadikan sebagai landasan
untuk berpikir dan bertindak. Dalam konflik Israel-Palestina misalnya, seruan
agar umat Islam bersatu untuk melawan Zionis-Yahudi bukan sesuatu yang aneh
disuarakan meski dengan alasan yang masih sulit ditebak: apakah merasa senasib
dengan warga Islam Palestina, atau justru dipicu oleh kebencian terhadap Yahudi
yang telah jauh ditanamkan. Sebaliknya, umat Islam dunia bahkan sulit untuk
memberikan dukungan kepada pihak mana ketika terjadi perang Saudara Sunni-Syiah
di wilayah Timur tengah, tetap saja sebagai perang melibatkan korban jiwa yang
tidak dapat ditolerir secara kemanusiaan.
Hampir
mustahil melacak kronologis sejak kapan umat Islam dididik untuk membenci
Yahudi, namun fakta yang ada justru menunjukkan hubungan keduanya cukup baik
sepanjang sejarah umat Islam awal hingga periode pertengahan. Dalam literatur
Islam orang Yahudi diabadikan sejarah sebagai orang yang pernah menjadi
sekretaris nabi khususnya untuk keperluan korespondensi luar negeri, bahkan
nabi juga menunjukkan toleransinya kepada Yahudi dengan berpuasa pada saat
mereka berpuasa. Pada periode Islam di Spanyol, umat Islam, Yahudi, dan Kristen
bersama-sama membangun dan menghasilkan sebuah peradaban yang berpengaruh pada
Renaisance Eropa.
Memang
kerukunan yang terjalin antara umat Islam dan Yahudi bukan berarti tanpa
konflik. Ketika pengaruh Muhammad semakin kuat dan daya imbau agama yang diajarkannya
semakin terasa di kalangan Yahudi, para pemuka agama Yahudi mulai mengabaikan
perjanjian damai yang pernah dibuat dengan umat Islam. Pengabaian terbuka atas
perjanjian itu ditandai dengan masuk Islamnya Abdullah bin Salam, seorang rabi
terpandang Yahudi yang sempat membujuk keluarganya untuk masuk ke agama Islam.
Kondisi ini membuat Yahudi merasa terancam dan mulai melancarkan serangan
teologis terhadap Muhammad dengan sejumlah pertanyaan dan perdebatan mengenai
pokok-pokok dasar agama Islam. Kebijakan resmi untuk memerangi Yahudi
digariskan Muhammad sejak pristiwa pelecehan seorang wanita muslim oleh
sekelompok Yahudi bani Qainuqa. Sejak saat itu, satu persatu kelompok Yahudi
diusir dari Madinah karena terbukti mendukung pihak Makkah. Kondisi ini –
sebagaimana ditulis Hamid Basyaib – jelas menunjukkan pertikaian yang
disebabkan oleh masalah politik.
Hingga
terjadi konflik Israel-Palestina yang dalam banyak hal dipandang sebagai
konflik Yahudi-Islam, analisis tentang masalah politik sebagai pemicu konflik
juga banyak digulirkan berbagai pihak. Konflik ini misalnya, merupakan konflik
yang dipicu oleh klaim hak atas tanah Palestina dari kedua pihak yang bertikai.
Seperti ditulis Trias Kuncahyono, Israel selalu mengatakan posisi legal
internasional mereka atas Jerusalem berasal dari mandat Palestina (Palestine
Mandate, 24 Juli 1922). Di pihak lain, Palestina juga menyatakan Jerusalem (al
Quds) akan menjadi ibu kota negara Palestina Merdeka di masa mendatang atas
dasar klaim pada agama, sejarah dan jumlah penduduk di kota itu.[19]
Pertikaian kedua belah pihak pada akhirnya sulit dihindari, sebab klaim hak
atas tanah Palestina bukan sekedar menyangkut latar belakang sejarah dan wilyah
politik, melainkan masalah simbol spiritualitas besar bagi kedua pihak.
Trias
Kuncahyono mengutip Dershowitz menuliskan, pembagian Jerusalem – menjadi bagian
Israel dan bagian Palestina – sulit untuk dilaksanakan karena peta demografi
tidak mudah diubah menjadi peta politik. Meskipun peta tersebut telah terbagi
sebagai wilayah yang dihuni orang-orang Israel dan wilyah lain yang dihuni
orang-orang Palestina, Jerusalem akan semakin sulit dibagi karena ia merupakan
simbol tiga agama besar yang letaknya saling berdekatan. Jerusalem adalah pusat
Yudaisme, tempat disalibnya Yesus dan kebangkitan serta kenaikannya ke surga,
dan tempat yang diyakini umat Islam sebagai bagian dari perjalanan
spiritualitas Muhammad ketika mengalami perjalanan malam dari Masjid al Haram
ke Masjid al Aqsha dan naik ke Sidratul Munthaha.
Yahudi
menganggap Palestina sebagai “tanah yang dijanjikan” dan mayoritas mereka
meyakini bahwa Yerusalem harus kembali menjadi ibu kota Israel sebagai
intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang selama ini
tertindas. Pandangan ini mengakibatkan pergeseran paradigma politik yang
mewarnai konflik Israel-Palestina ke paradigma teologis. Apalagi, mitos yang kerap
dikembangkan untuk memberikan identitas pada Yahudi, adalah: “bangsa tanpa
tanah untuk tanah tanpa bangsa”. Streotipe tentang Yahudi sebagai “bangsa yang
terusir dari tanahnya” ini juga telah berhasil membentuk konsep teologis
orang-orang Yahudi, bahwa – seperti ditulis Karen Armstong – Tuhan memulai
penciptaan dengan tindakan yang kejam karena keinginan untuk membuat dirinya
dikenal oleh para makhluknya. Keterkucilan dan pengasingan Yahudi bahkan pernah
di alami Adam sebelumnya, karena dosa yang dilakukan Adam membuat ia terusir
dari surga. Demikian Yahudi, mengembara ke seluruh penjuru dunia, menjadi
terkucil selamanya, dan merindukan penyatuan kembali dengan Tuhan.
Ada
mitos lain yang menarik menyangkut konsep teologi Yahudi, yaitu penantian
terhadap datangnya sorang Messiah selama berabad-abad yang diharapkan akan
membawa keadilan dan perdamaian. Dalam keyakinan Yeshiva, sebuah sekte yang
didirikan R. Shalom Dov Ber yang sangat khawatir terhadap masa depan agama
Yahudi, mereka akan menjadi prajurit dalam pasukan rabi yang akan berperang
tanpa kenal ampun dan kompromi untuk memastikan agama Yahudi sejati tetap
bertahan, dan perjuangan mereka akan meratakan jalan bagi kedatangan Messiah. Cukup
beralasan jika kemudian keyakinan Yeshiva ini dipahami dengan pandangan:
Messiah hanya akan turun ketika terjadi keberutalan dan peperangan (ingat mitos
penciptaan Luria).
Jika
ditinjau dari latar belakang sejarah, konflik Israel-Palestina merupakan bagian
dari konflik Arab-Israel yang lebih luas sejak 1940-an. Agresi Meliter Israel
terakhir yang dilancarkan sejak 26 Desember 2008 pada prinsipnya merupakan
bagian yang tidak terpisah dari konflik Israel-Palestina sebelumnya. Untuk
lebih jelasnya, kronologi konflik Israel-Palestina dapat dipahami sebagaimana
penjelasan berikut:
Kronologi
dan Anatomi Konflik Israel-Palestina
Tahun
|
Pristiwa
|
Deskripsi
|
1917
|
Deklarasi Balfour
|
2 November 1917 Inggris memenangkan Deklarasi Balfour yang dipandang
pihak Yahudi dan Arab sebagai janji untuk mendirikan tanah air bagi kaum
Yahudi di Palestina.
|
1922
|
Mandat Palestina
|
|
1936-1939
|
Revolusi Arab
|
Pimpinan Amin al
Husein yang menyebabkan tidak kurang 5000 warga Arab terbunuh
|
1947
|
Rencana pembagian
wilayah oleh PBB
|
29 November 1947,
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui untuk mengakhiri Mandat Britania untuk
Palestina dari tanggal 1 Agustus 1948 dengan pemecahan wilayah mandat
|
1948
|
Deklarasi Negara
Israel
|
Israel
diproklamirkan pada tanggal 14 Mei 1948, sehari kemudian langsung diserang
oleh tentara dari Libanon, Yordania, Mesir, Irak, dan negara Arab lainnya.
Israel berhasil memenangkan peperangan dan merebut + 70% dari luas total
wilayah mandat PBB Britania Raya.
|
1949
|
Perseteujuan
gencatan senjata
|
3 April 1949,
Israel dan Arab sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Israel mendapat kelebihan
50 persen lebih banyak dari yang diputuskan rencana pemisahan PBB
|
1956
|
Perang Suez
|
29 Oktober 1965,
Krisis Suez, sebuah serangan meliter terhadap Mesir dilakukan oleh Britania
Raya, Perancis dan Israel.
|
1964
|
Organisasi
Pembebasan Palestina (PLO) berdiri
|
Mei 1964,
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) resmi berdiri, tujuannya untuk
menghancurkan Israel.
|
1967
|
Perang enam hari
|
Dikenal dengan
perang Arab-Israel 1967, merupakan peperangan antara Israel menghadapi
gabungan tiga negara Arab: Mesir, Yordania dan Suriah, yang mendapatkan
bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang
tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit.
|
Resolusi Khartoum
|
Sebuah pertemuan
8 pemimpin negara Arab pada tanggal 1 September 1967 karena terjadinya perang
enam hari. Resolusi ini berlanjut ke perang Yom Kippur tahun 1973.
|
|
1968
|
Palestina
menuntut pembekuan Israel
|
Perjanjian
Nasional Palestina dibuat, dan secara resmi Palestina menuntut pembekuan
Israel.
|
1970
|
War of Attrition
|
Setelah perang
enam hari (5-10 Juni 1967), terjadi insiden serius di Terusan Suez. Tembakan
pertama dilepaskan 1 Juli 1967, ketika pasukan Mesir menyerang patroli
Israel, dan ini merupakan awal dari perang War of Attrition.
|
1973
|
Perang Yom Kippur
|
Dikenal juga
dengan Perang Ramadhan pada tanggal 6-26 Oktober 1973 karena bertepatan
dengan bulan ramadhan. Perang ini merupakan perang antara pasukan Israel
melawan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah,
terjadi pada hari raya Yom Kipur, hari raya yang paling besar dalam tradisi
orang-orang Yahudi.
|
1978
|
Kesepakatan Camp
David
|
Ditandatangani
pada tanggal 17 September 1978 di Gedung Putih yang diselenggarakan untuk
perdamaian di Tmur Tengah. Jimmy Carter (Presiden Amerika Serikat) memimpin
perundingan rahasia yang berlangsung selama 12 hari antara Presiden Mesir,
Anwar Sadat, dan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin.
|
1982
|
Perang Libanon
|
Perang antara
Israel dan Libanon yang terjadi pada tanggal 6 Juni 1982 ketika angkatan
bersenjata Israel menyerang Libanon Selatan.
|
1990-1991
|
Perang Teluk
|
|
1993
|
Kesepakatan damai
antara Palestina dan Israel
|
13 September
1993, Israel dan PLO sepakat untuk saling mengakui kedaulatan masing-masing.
Pertemuan Yaser Arafat dan Israel Yitzhak Rabin berhasil melahirkan
kesepakatan OSLO. Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur
Gaza serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah lembaga semiotonom
yang bisa memerintah di kedua wilayah. Arafat mengakui hak negara Israel
untuk eksis secara aman dan damai.
|
1996
|
Kerusuhan
teromongan al Aqsha
|
Israel sengaja
membuka terowongan Masjid al Aqsha untuk memikiat para turis dan membahayakan
fondasi mesjid bersejarah, pertempuran berlangsung beberapa hari.
|
1997
|
Israel menarik
pasukannya dari Hebron, Tepi Barat
|
|
1998
|
Perjanjian Wye River
|
Oktober 1998,
Perjanjian Wye River yang berisi penarikan Israel dan dilepaskannya tahanan
politik dan kesediaan Palestina untuk menerapkan butir-butir perjanjian Oslo,
termasuk soal penjualan senjata ilegal.
|
2000
|
KTT Camp David
|
|
2002
|
Israel membangun tembok
pertahanan di tepi Barat diiringi rangkaian serangan bunuh diri Palestina
|
|
2004
|
Mahkamah
Internasional menetapkan pembangunan batas pertahanan menyalahi hukum
internasional dan Israel harus merobohkannya
|
|
2005
|
Mahmud Abbas
terpilih menjadi Presiden
|
9 Januari 2005,
Mahmud Abbas dari al Fatah terpilih sebagai Presiden Otoritas Palestina
menggantikan Yaser Arafat yang wafat pada 11 November 2004
|
Juni 2005,
pertemuan Mahmud Abbas dan Ariel Sharon di Yerusalem. Mahmud Abbas mengulur
Jadwal Pemili karena mengkhawatirkan kemenangan diraih pihak Hammas
|
||
Agustus 2005,
Israel hengkang dari pemukiman Gaza dan empat wilayah pemukiman di Tepi Barat
|
||
2006
|
Hamas memenangkan
Pemilu
|
Januari 2006,
Hammas memenangkan kursi Dewan Legislatif, menyudahi dominasi fatah selama 40
tahun
|
2008
|
Januari-Juli,
ketegangan meningkat di Gaza. Israel memutus suplai listrik dan gas, Hamas
dituding tidak mampu mengendalikan kekerasan
|
|
November 2008,
Hamas batal ikut serta dalam pertemuan univikasi Palestina yang dilaksanakan
di Kairo, Mesir. Serangan roket kecil berjatuhan di wilayah Israel.
|
||
26 Desember 2008,
Agresi Israel ke Jalur Gaza. Israel melancarkan Operasi Oferet Yetsuka, yang
dilanjutkan dengan serangan udara ke pusat-pusat operasi Hamas.
|
(Disadur dari
beberapa sumber)
D.
Analisis Sosial: Konflik Politik-Teologis
Berdasarkan
uraian mengenai konflik Israel-Palestina sebagaimana dipaparkan di atas,
terlihat jelas bahwa, baik dimensi politik maupun dimensi teologis menjadi dua
hal yang sulit dipisahkan meskipun keduanya harus dapat dibedakan. Beberapa
catatan mengenai konflik Israel-Palestina bahkan memperlihatkan sebuah analisis
tentang pandangan konflik yang bermula dari persoalan politik ke teologis.
Fakta semacam ini dapat dibenarkan, mengingat dalam litaratur Islam sendiri
persoalan persoalan politik lebih dahulu muncul disusul dengan persoalan
teologi. Seperti disebutkan Harun Nasution, memang agak aneh jika dikatakan
bahwa persoalan yang pertama kali timbul dalam Islam adalah persoalan politik
yang kemudian meningkat menjadi persoalan teologi, akan tetapi sejarah
menunjukkan fakta tersebut. Selain itu, sulitnya memisahkan antara konflik
politik dengan konflik teologis tidak saja disebabkan oleh pergeseran otomatis
yang terjadi dari masalah politik ke teologi sebagaimana yang seringkali
muncul, akan tetapi konflik yang bermula dari persoalan teologi juga tidak
jarang memasuki ranah politik sebagai reaksinya untuk “bertarung” melawan
teologi yang lain. Dengan demikian, konflik politik maupun konflik teologis
menjadi dua hal yang saling membaur dan membutuhkan peranan yang satu terhadap
yang lainnya.
Dari
berbagai catatan mengenai latar belakang konflik Israel-Palestina sebagai
bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas, tampak jelas bahwa konflik ini
terlebih dahulu dilatarbelakangi oleh masalah politik yang kemudian menjurus
pada persoalan teologis. Tidak sepenuhnya benar pandangan yang menganggap bahwa
konflik Israel-Palestina murni sebagai persoalan politik, sebab argumentasi
teologis – khususnya yang datang dari pihak Yahudi – juga turut mengambil
peranan dalam konflik ini. Pernyataan yang mungkin lebih tepat adalah, konflik
Palestina-Israel merupakan konflik yang bermula dari persoalan politik dan
sedikit melibatkan persoalan teologis. Namun demikian, sekecil apapun alasan
teologis yang melatar belakangi konflik Israel Palestina, tetap saja alasan
tersebut memiliki pengaruh yang besar pada kebijakan-kebijakan politik yang
diambil oleh negara Israel.
Persoalan
teologis yang penulis maksud adalah keyakinan bangsa Yahudi terhadap tanah yang
dijanjikan dan harus direbut sebagai bentuk intervensi Tuhan untuk
mengembalikan hak bangsa Yahudi yang telah tertindas. Konsep teologis tidak
dimaksudkan sebagai perang agama yang terjadi antara agama Yahudi dan Islam
yang menjadi pandangan “kolektif” hampir seluruh umat Islam, dan harus ditegaskan
bahwa pandangan semacam ini merupakan pandangan yang keliru. Sepanjang
sejarahnya, konflik antara Yahudi dan Islam atas nama agama belum pernah
terjadi, sungguhpun konflik Israel-Palestina telah berlangsung sejak enam puluh
tahun silam. Sebaliknya, konflik atas nama agama justru dialami Yahudi dengan
umat Nasrani, ketika Ferdinand dan Isabella menaklukan Granada pada tahun 1942
dan memerintahkan pengusiran perkampungan Yahudi yang mengakibatkan sekitar
70.000 kaum Yahudi berpindah ke agama Kristen, dan mereka yang terusir hidup di
bawah perlindungan Islam (Imperium Utsmaniyah).
Memahami
situasi konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina, analisis sosial tentu
menjadi alternatif yang mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar yang
tepat, karena konflik ini – secara luas – menyangkut masalah interaksi sosial
yang menyentuh berbagai aspek. Interaksi sosial tidak selamanya dapat dipahami
sebagai hubungan timbal balik yang bernilai kooperatif (cooperation), akan
tetapi persaingan (competition) dan pertantangan maupun pertikaian (conflict)
merupakan salah satu bentuk interaksi sosial itu sendiri. Holsti bahkan
menyebutkan, pada dasarnya segala jenis hubungan (interaksi) menunjukkan adanya
sifat konflik. Karenanya, solusi untuk konflik sosial yang membingkai interaksi
Israel-Palestina hanya dapat ditempuh melalui analisis sosial mengingat langkah
ini dapat mengantarkan pemahaman pada faktor-faktor yang membentuk interaksi
antar kelompok dan situasi yang membentuk interaksi tersebut pada level ketegangan
maupun hubungan yang harmonis.
Setidaknya,
interaksi Israel-Palestina yang membentuk konflik teridentifikasi pada dua
masalah besar: politik dan teologis. Jika dilacak dari latarbelakang
sejarahnya, masalah politik pada prinsipnya menjadi pemicu utama yeng membentuk
situasi konflik Israel-Palestina, dan argumentasi teologis tentang berbagai hal
seperti: keyakinan tentang tanah yang dijanjikan; bangsa terpilih; maupun
“tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah”; menjadi kekuatan lain yang
membentuk konflik. Beberapa kalangan bahkan menganggap argumentasi teologis ini
merupakan politik mitos yang diciptakan oleh bangsa Yahudi sendiri untuk
melegitimasi setiap tindakannya dalam mendapatkan “tanah yang dijanjikan”,
sehingga pandangan ini semakin berpotensi membentuk anggapan bahwa konflik
Israel-Palestina murni sebagai konflik yang dipicu oleh permasalahan politik.
E.
Penutup
Berdasarkan
pemaparan singkat di atas, tampak jelas bahwa kunci penyelesaian konflik
Israel-Palestina sesungguhnya terletak pada kedua belah pihak yang bertikai.
Penyelesaian konflik Israel Palestina akan sulit tercapai manakala pihak-pihak
yang terlibat konflik tidak mentaati kesepakatan yang telah diambil. Pada aspek
politik, langkah bijak yang tentunya dapat dilakukan adalah mengidentifikasi
berbagai persoalan dari kedua belah pihak untuk mendapatkan kerja sama dengan
kepentingan yang sama dari masing-masing kebijakan politik keduanya. Sementara
pada aspek teologis, dialog merupakan langkah yang tepat dalam menyelesaikan persoalan
keduanya. Selain itu, aspek teologis agaknya tidak terlalu dominan mewarnai
konflik, mengingat dalam sejarahnya hubungan teologis tiga agama besar pernah
terjalin harmonis tanpa sentuhan “tangan-tangan politik”.
Daftar Pustaka
A. Oberschall. 1978. “Theories of Social Conflict”. Annual
Review of Sociology. Vol. 4. Page:291-315 Ralph Scoenman. 2007. “The Hidden Histroy of Zionism”.
Terjemah: Joko. S. Kahhar. Sejarah
Zionisme yang Tersembunyi. Sajadah Perss.
Alwi
Shihab. 1999. Islam Inklusive: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama.
Bandung: Mizan
Derk
Prince. 1982. “The Last World on the
Midle East”. Terjemah: Timur Tengah,
Ungkapan Nubuat. Malang: Gandum Mas
Hamid
Basayib. 1998. “Perspektif Sejarah
Hubungan Islam dan Yahudi”, dalam: Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed).
Pasing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Harun
Nasution. 1986. Teologi
Islam:Aliran-Aliran Sejarah Analisa, dan Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Irshad
Mandji. 2008. “The Truble with Islam
Today: A Wake Up Call for Honesty and Change”. Terjemah: Herlina Permata
Sari. Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan
Umat Islam Saat Ini. Jakarta: Nun Publisher
Irwansyah. 2004. “Perkembangan
Pemikiran tentang Kerukunan Hidup Umat Beragama: Suatu Analisis”, dalam: H.
M. Ridwan Lubis, dkk (ed). Konsep
Kerukunan Hidup Umat Beragama, Kumpulan Karya dalam Konteks Pluralitas Agama
dan Budaya. Medan: LPKUB Perwakilan Sumut
2008. “Teologi
Islam tentang Agama-agama: Suatu Kajian Konsep ad Din dalam al Quriān.” Buletin
Multikultural Edisi IV/November 2008, hal:15-23. lihat juga:
James
Turner Johnson. 1997 “The Holy War Idea
in Western and Islamic Tradtion. Terjemah: Perang Suci Atas Nama
Tuhan: Dalam Tradisi Barat dan Islam. Bandung: Mizan
John
Obert Voll. 1997. “Islam Continuity and
Change in the Modern World”. Terjemah:
Ajat Sudrajat. Politik Islam, Kelangsungan dan Perubahan Dunia Modern. Yogyakarta:
Titian Ilahi Press.
K.
J. Holsti. 1988. Politik Nasional,
Kerangka untuk Analisis. Jakarta: Rajawali Perss
Karen
Armstong. 2000. “The Battle of God”.
Terjemah: Satrio Wahono, dkk. Berperang
Demi Tuhan, Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi. Jakarta:
Serambi, hlm: 231
2003.
“Islam: A Short History”. Alih
Bahasa: Funky Kusnaendy Timur. Islam
Sejarah Singkat. Yogyakarta: Jendela
Meutia
Ghani. 2007. “Analisis Sosial Relasi
Etno-Religius di Indonesia”. Buletin: Kebebasan. No: IV/2007, hlm:2-5
Muhammad
Husein Haekal. 1982. Sejarah Hidup
Muhammad. (Terjemah: Ali Audah). Jakarta: Tintamas
Osman Raliby. 1982. Kamus
Internasional. Jakarta: Bulan Bintang
Philips
K. Hitti. 2002. History of the Arabs.
(terjemah: R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi. S. Riyadi. Jakarta: Serambi
Rohadi
Abdul Fatah. 2004. Sosiologi Agama.
Jakarta: Titian Kencana Mandiri
Safuan al Fandi. tt. Jihad: Makna dan Keutamaannya dalam
Sudut Panndang Islam. Solo: Sendang Ilmu
Soerjono
Soekanto. 1996. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: Rajawali Perss
Trias
Kuncahyono. 2008. Jerusalem: Kesucian,
Konflik, dan Pengadilan Akhir. Jakarta: Kompas
1 Comments
Do you understand there is a 12 word sentence you can speak to your partner... that will induce deep emotions of love and instinctual attractiveness for you buried within his chest?
ReplyDeleteThat's because hidden in these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's impulse to love, adore and protect you with his entire heart...
===> 12 Words That Fuel A Man's Desire Impulse
This impulse is so hardwired into a man's brain that it will make him work harder than before to do his best at looking after your relationship.
Matter-of-fact, fueling this dominant impulse is so essential to getting the best ever relationship with your man that as soon as you send your man a "Secret Signal"...
...You will soon notice him expose his mind and soul to you in such a way he never expressed before and he will distinguish you as the one and only woman in the galaxy who has ever truly attracted him.